Pages - Menu

Kamis, 27 Oktober 2016

Full Day School Tidak Cocok untuk ABK



YPAC Surabaya Menolak Kebijakan FULL DAY SCHOOL
Untuk ABK










Abdul Rajab - Universitas Negeri Surabaya
Finalis Duta Pendidikan Jawa Timur 2016

Kebijakan Full Day School (sekolah sehari penuh) yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sudah menjadi wacana publik secara nasional. Terjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat terkait kebijakan tersebut. Menurut Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta pada berita online detik.com (09 Aug 2016, 19.02 WIB/wacana full day school), Full Day School  hanya cocok bagi mereka yang tinggal di perkotaan, terutama yang kedua orang tuanya bekerja. Sehingga sekolah akan menjadi tempat yang cocok bagi anak-anak untuk menuntut ilmu sekaligus sarana interaksi, dibandingkan dengan keluyuran karena tidak ada orang tua yang mengawasi di rumah. Berbeda dengan anak-anak dipedesaan, mereka seharusnya tidak terlalu banyak menerima kurikulum berbasis akademis. Namun mereka harus lebih banyak turun ke lapangan dengan menekuni bidang peternakan, perikanan, kelautan, atau pun bidang lainnya sesuai dengan daerah tempat mereka tinggal.

Lalu bagaimana jika Full Day School diterapkan di sekolah khusus atau sekolah luar biasa (SLB)? Sesuai study lapangan yang saya lakukan pada 4 Oktober 2016 di SDLB-D YPAC Surabaya, warga sekolah kurang sepakat  jika konsep Full Day School diterapakan pada ABK (anak berkebutuhan khusus), terutama pada siswa di YPAC Surabaya. Menurut Kepala Sekolah SDLB-D YPAC Surabaya, Ibu Isrumilah, setiap hari anak belajar kurang lebih tujuh jam.  Waktu tujuh jam itu tidak semuanya di pakai untuk proses pembelajaran berbasis akademik. Tetapi diselingi dengan kegiatan non akademik yang menyenangkan bagi anak. Dalam waktu tujuh jam di sekolah, terkadang membuat anak-anak lelah. Apalagi jika di terapkan full day school. Kapan anak-anak harus terapi? Kapan anak-anak bersama dengan keluarga?

“Saya sebagai orang tua dari Thariq (siswa SDLB-D YPAC Surabaya) tidak setuju dengan kebijakan sekolah sehari penuh. Alasannya, Anak-anak kita ini punya keterbatasan. Selain sekolah, mereka harus belajar, harus terapi, belum lagi kegiatan lainnya. Dan terapi sebenarnya dilakukan setiap hari. Kalau harus full day , gimana istirahat mereka? Dan menurut saya kalau anak-anak ful day belajarnya, mereka akan lelah dan pelajaran gak akan bisa diterima dengan baik ”. Tegas Bu Ratna (ibunda dari Thariq). 


”Saya kurang setuju jika ful day school diterapkan pada ABK. Karena untuk anak ABK tidak hanya memerlukan pendidikan dan keterampilan akademis saja. Tetapi juga perlu berbagai macam terapi. Jika full day school yang cendeung pulangnya sore, terus kapan anak bisa berlatih untuk motoriknya? Meskipun ABK tidak diterapkan konsep ful day school, tetapi setiap harinya pasti sudah merasakan seperti jadwal full day karena keharusan untuk terapi berlatih motorik setiap hari”. Ungkapan Bu Heny Setyawati, salah satu orang tua siswa di SDLB-D YPAC Surabaya.

Dua ungkapan di atas menegaskan bahwa ful day school sulit diterapkan pada ABK. Karena setiap ABK memang memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda-beda. Pemberian mata pelajaran di sekolah sangat di sesuaikan dengan kondisi anak. Jam pelajaran anak di sekolah pun harus dibatasi karena kondisi anak yang tidak memungkinkan untuk belajar terlalu lama.
Menurut Bu Ninik, salah satu guru di SDLB-D YPAC Surabaya, ketika anak belajar terlalu lama, kondisi fisik anak bisa terlalu lelah, sehingga memungkinkan pembelajaran lebih tidak efektif. Maka dari itu, Full Day school tidak dapat diterapkan pada sekolah SLB, terutama di YPAC Surabaya.
Maka dalam kebijakan Full Day School sebaiknya tidak diberlakukan pada sekolah khusus seperti SLB. Bagi sekolah SLB perlu diterapkan otonomi sekolah sehingga kepala sekolah dan guru-guru di dalamnya mampu membuat aturan sekolah yang disesuikan dengan kondisi siswa ABK. 

(Surabaya, 27 Oktober 2016)