YPAC Surabaya Menolak Kebijakan
FULL DAY SCHOOL
Untuk ABK
Abdul Rajab - Universitas Negeri
Surabaya
Finalis Duta Pendidikan Jawa Timur
2016
Kebijakan
Full Day School (sekolah sehari
penuh) yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sudah menjadi wacana
publik secara nasional. Terjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat terkait
kebijakan tersebut. Menurut Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta pada berita online
detik.com (09 Aug 2016, 19.02 WIB/wacana full
day school), Full Day School hanya cocok bagi mereka yang tinggal di
perkotaan, terutama yang kedua orang tuanya bekerja. Sehingga sekolah akan
menjadi tempat yang cocok bagi anak-anak untuk menuntut ilmu sekaligus sarana
interaksi, dibandingkan dengan keluyuran karena tidak ada orang tua yang
mengawasi di rumah. Berbeda dengan anak-anak dipedesaan, mereka seharusnya
tidak terlalu banyak menerima kurikulum berbasis akademis. Namun mereka harus
lebih banyak turun ke lapangan dengan menekuni bidang peternakan, perikanan,
kelautan, atau pun bidang lainnya sesuai dengan daerah tempat mereka tinggal.
Lalu
bagaimana jika Full Day School diterapkan
di sekolah khusus atau sekolah luar biasa (SLB)? Sesuai study lapangan yang
saya lakukan pada 4 Oktober 2016 di SDLB-D YPAC Surabaya, warga sekolah kurang
sepakat jika konsep Full Day School diterapakan pada ABK (anak berkebutuhan khusus), terutama
pada siswa di YPAC Surabaya. Menurut Kepala Sekolah SDLB-D YPAC Surabaya, Ibu Isrumilah, setiap hari anak belajar kurang lebih tujuh jam. Waktu tujuh jam itu tidak semuanya di pakai untuk proses pembelajaran berbasis akademik. Tetapi diselingi dengan kegiatan non akademik yang menyenangkan bagi anak. Dalam waktu tujuh jam di sekolah, terkadang membuat anak-anak lelah. Apalagi jika di terapkan full day school. Kapan anak-anak harus terapi? Kapan anak-anak bersama dengan keluarga?
“Saya
sebagai orang tua dari Thariq (siswa SDLB-D YPAC Surabaya) tidak setuju dengan
kebijakan sekolah sehari penuh. Alasannya, Anak-anak kita ini punya
keterbatasan. Selain sekolah, mereka harus belajar, harus terapi, belum lagi
kegiatan lainnya. Dan terapi sebenarnya dilakukan setiap hari. Kalau harus full day , gimana istirahat mereka? Dan
menurut saya kalau anak-anak ful day belajarnya,
mereka akan lelah dan pelajaran gak akan bisa diterima dengan baik ”. Tegas Bu
Ratna (ibunda dari Thariq).
”Saya
kurang setuju jika ful day school diterapkan
pada ABK. Karena untuk anak ABK tidak hanya memerlukan pendidikan dan keterampilan
akademis saja. Tetapi juga perlu berbagai macam terapi. Jika full day school yang cendeung pulangnya
sore, terus kapan anak bisa berlatih untuk motoriknya? Meskipun ABK tidak
diterapkan konsep ful day school, tetapi
setiap harinya pasti sudah merasakan seperti jadwal full day karena keharusan untuk terapi berlatih motorik setiap
hari”. Ungkapan Bu Heny Setyawati, salah satu orang tua siswa di SDLB-D YPAC
Surabaya.
Dua
ungkapan di atas menegaskan bahwa ful day
school sulit diterapkan pada ABK. Karena setiap ABK memang memiliki
karakteristik dan kebutuhan yang berbeda-beda. Pemberian mata pelajaran di
sekolah sangat di sesuaikan dengan kondisi anak. Jam pelajaran anak di sekolah
pun harus dibatasi karena kondisi anak yang tidak memungkinkan untuk belajar
terlalu lama.
Menurut
Bu Ninik, salah satu guru di SDLB-D YPAC Surabaya, ketika anak belajar terlalu
lama, kondisi fisik anak bisa terlalu lelah, sehingga memungkinkan pembelajaran
lebih tidak efektif. Maka dari itu, Full
Day school tidak dapat diterapkan pada sekolah SLB, terutama di YPAC
Surabaya.
Maka
dalam kebijakan Full Day School sebaiknya
tidak diberlakukan pada sekolah khusus seperti SLB. Bagi sekolah SLB perlu
diterapkan otonomi sekolah sehingga kepala sekolah dan guru-guru di dalamnya mampu
membuat aturan sekolah yang disesuikan dengan kondisi siswa ABK.
(Surabaya, 27 Oktober 2016)